"MAS PENJUAL BAKSO"



“Berapa satu porsi mas…” gue.
“sepuluh ribu mas…” mas penjual bakso.
“ohh iyaa, sebentar mas…” gue meninggalkan mas penjual bakso.

     Gue melangkah masuk ke dalam kantor yang ngurusin pencairan uang jaminan kerja gue selama setahun kemaren setelah berhenti dari pekerjaan itu. Kurang lebih 15 menit urusan gue di dalam kantor itu selesai. Gue keluar dari kantor itu dan menuju gerobak bakso yang gue temui tadi.

“siji mas (satu porsi mas)…” gue tanpa basa basi.

Mas penjual bakso melihat gue dengan serius dan sedikit bingung.

“opo mas (apa mas) ?” gue senyum lebar.
“jowo toh ?” tanya mas penjual bakso.
“jowo mas. Suroboyo…” gue.
“loh, kok bedo yoo ?” si mas heran.
“bedo yoopo (beda bagaimana) ?” gue ketawa.
“koyok duduk wong jowo. tampilane (seperti bukan orang jawa, penampilannya)…” kata mas penjual bakso.
“lah, yoopo nek tampilane wong jowo (lah, bagaimana tampilannya kalo orang jawa) ?” gue heran sambal ketawa.
“bedo (beda) mas… hehehe” si mas penjual bakso tidak memberi jawaban yang jelas.
“waaaah mas-mas…” gue ketawa.

     Kemudian si mas penjual bakso nanya-nanya ke gue. Mulai dari gue aslinya orang mana, pekerjaan gue apa, sampai si mas kaget pas tahu umur gue. Katanya “masih muda, seumuran adekku.” Tapi dari semua pertanyaan dan perbicangan gue dengan si mas penjual bakso ada hal yang membuat gue berpikir sampai sekarang. Si mas penjual bakso kagum dengan pekerjaan gue sebelumnya.

“owalah mas… kerjo wes enak kok sampeyan metu (kerja sudah enak kok malah keluar) ?” si mas penjual bakso heran.
“yaa gapapa mas. Ada pekerjaan lain yang saya tertarik.” Gue bales sambal senyum.
“piye mas carane kerjo nang kono (gimana mas cara masuk kerja disitu) ?” si mas penjual bakso nanya.
“ngelamar mas, onok seleksine yo lumayan angel mas  (ada seleksinya, ya lumayan susah mas) ?” gue.
“ohh musti pinter yo mas berarti (ohh harus pinter yaa mas berarti) ?” mas penjual bakso.
“yo palingan mas. Aku untunge sarjana (yaa mungkin mas. Saya beruntung saja sarjana)” gue.
“owalah mas iyo, nek aku ngene ki opo. Mek lulusan SMP. Yo kerjone mek ngene ki. (owalah mas iya. Kalo saya begini apa, hanya lulusan SMP. Ya kerjanya hanya begini).” Kata mas penjual bakso ke saya dengan nada lirih.

“mas, gusti Allah iku wes ngantur takdir mbe rezeki. Gak oleh ngeluh kerjoan. Wes diatur. Wes cukup. Yang penting halal. (mas, Allah subhanahuwata’ala itu sudah mengatur takdir dan rezeki setiap orang.  Gak boleh mengeluh dengan pekerjaan. Sudah diatur. Dan itu pasti cukup. Yang penting itu pekerjaan halal mas).” Bales gue ke mas penjual cendol. Eh. Bakso maksudnya.

Si mas penjual cendol. Eh, bakso tersenyum ke gue.

“mas ojo lali sholat. Ono cara ben rezekine Allah kei seng akeh. Eroh gak mas (mas, jangan lupa sholat. Ada cara agar Allah subhanahuwata’ala memberi kita rezeki yang banyak. Tahu gak mas) ?” gue coba nanya ke mas penjual bakso.

“opo ?” si mas penjual bakso nanya balik ke gue.

“NIKAH. hahahaha” gue mencoba membahagiakan si mas penjual bakso.

     Percakapan gue dan si mas penjual bakso berakhir sesuai dengan habisnya semangkok bakso yang gue makan. Si mas penjual bakso itu berusia 28 tahun dan belum menikah.

    Si mas penjual bakso itu telah curhat ke gue, merasa hidupnya belum cukup untuk menanggung istri apalagi jika nanti mempunyai anak. Untuk tempat tinggal saja dia hanya ikut tinggal dirumah bosnya bersama dua temannya yang keliling jualan bakso. Makanya si mas belum kepikiran untuk menikah. Beda banget sama gue. Gue yang kata orang baru 24 tahun, udah pengen banget nikah dan punya anak.

    Si mas juga merasa iri ke gue dari segi pendidikan dan pekerjaan. Dia merasa bahwa gue pinter, bisa dapet pekerjaan yang bagus dan gaji yang besar. Padahal selama ini gue gak pernah mikir tentang pekerjaan dan gaji gue. Gue merasa hanya orang yang beruntung ketika mendapatkan pekerjaan yang mungkin banyak orang lain inginkan. Sementara soal gaji, gue merasa Allah yang ngasih gue gaji itu. Dan gue percaya sebenarnya Allah subhanahuwata’ala yang telah mengatur semuanya. Termasuk keinginan gue untuk bisa menikah yang sebenarnya gue juga merasa belum punya apa-apa. Tapi gue yakin, yang menggerakkan hati gue untuk ingin “menikah” adalah Allah subhanahuwat’ala dan gue percaya Allah bakalan mencukupkan rezeki gue kedepannya selama gue masih hidup. Aamiin

    Terakhir, gue ninggalin si mas penjual bakso tadi dengan ucapan dalam hati gue “semoga si mas penjual bakso itu Allah bukakan pintu-pintu rezekinya yang berlebih dan Allah segera berikan jodoh untuk menemani masa hidupnya. Aamiin.”

Luwuk, 1 Februari 2019



Comments

Popular posts from this blog

"MENDUA TIDAK MASALAH"

"HELLO 2025, SIAPA AKU ?"

"KESEMPATAN DAN INTEGRITAS"