"Di Jakarta"
Memasuki pertengahan bulan ke tiga gue
di Jakarta. Tidak banyak hal yang bisa gue hapal selain stasiun Manggarai
adalah stasiun central bagi semua orang untuk menuju timur, barat, selatan, dan
utara Jakarta. Selain itu sebagai seorang lelaki sejati, naik Kereta Listrik (KRL)
adalah 95% dipastikan berdiri karena gak bisa pura-pura bilang “saya hamil mas” untuk
bisa mendapat tempat duduk. Gue merasa orang-orang di Jakarta bisa menjadi
pasukan paskibraka untuk upacara hari kemerdekaan. Karena mereka orang-orang
yang mampu berdiri berjam-jam di dalam kereta, bahkan bisa sambil tidur. Hebat
banget.
Selama di Jakarta kadang gue lebih
memilih naik busway daripada kereta. Selain karena harganya sama
setidaknya gue merasa adem, nyaman, dan kalo ngantuk gue gak tidur dalam
keadaan berdiri. Naik busway memang akan terlibat macet-macetan di jalanan dan
waktu sampai tujuan lebih lama tapi disitulah gue bisa merasakan Jakarta yang
sebenarnya.
Gue bisa lihat bangunan-bangunan
tinggi, mobil-mobil yanag bergerak pelan, bunyi klakson tanda tak sabar, sesekali
ada mobil menerobos lewat jalur busway dan yang paling mendominasi adalah
abang-abang ojek online yang suka nyelip-nyelip di celah antara mobil sesempit
apapun itu.
Selama di Jakarta gue jarang naik ojek
online kecuali terlambat. Sebab sampai tulisan ini gue tulis, belum pernah ada
abang ojek online yang manusiawi membawa gue menuju tempat tujuan. Semuanya ngebut,
suka maksa nyisip, bertanya balik jalan menuju tujuan gue lewat mana yang mana
gue juga gak tahu jalannya. Pernah gue menggunakan jasa ojek online yang google
map di hpnya bermasalah. Akhirnya dia membawa gue pake insting. Sekali lagi, PAKE INSTING. Yang mana dia cuma
tahu area kompleks yang gue tuju. Hp gue saat itu tinggal 2% yang mana moment
itu menjadi moment romantis antara gue dan abang ojek muter-muter kompleks tersesat
tak tahu arah dan tujuan kemana. Gue
memilih turun, kemudian jalan sambil bertanya-tanya sendiri daripada bersama
abang kampret itu. Saat dibonceng muter-muter kompleks rasanya gue udah pengen
cekek leher si abang itu sampe mati, kemudian gue dapet motornya. Lumayan kan.
Selain itu, hal lain yang tidak manusiawi adalah
nama gue (Rama Tantra) lebih sering dipikirkan abang-abang ojek online seorang “mbak-mbak”.
Pas ketemu “maaf yaa mas, saya kira ibu-ibu”. Huft.
Di Jakarta semua bergerak cepat. Terutama
abang-abang ojek online.
Di Jakarta, makanan banyak pilihan. Tinggal
mau makan apa, uang elu berapa. Kalo bagi gue sih kelas makanan gue tidak ada
yang paling membahagiakan selain makan nasi padang 11.000 rupiah bebas pilih
paha, dada, atau ikan. Kecuali rendang 15.000.
Di Jakarta, orang-orang acuh tak acuh
ke orang lain. Gue sering ngasih senyuman ke orang yang secara tak sengaja mata
kami bertemu, eh orang itu biasa aja. Gak dibales sama sekali senyuman gue. Setelah
beberapa saat gue sadar, kalo gue pake masker. Patesan senyuman gue gak
dibales. Mana orang itu tahu kalo gue senyum ke dia, mulut gue ketutupan
masker. Bego.
Di Jakarta, kaos kaki harganya 10 ribu
dapet 3 pasang. Hal ini bisa menyebabkan orang-orang males mencuci kaos kaki
yang dia miliki. Daripada nyuci ngucek-ngucek (ini bahasa apa sih), mendingan
kalo udah kotor buang, kemudian ke pintu masuk stasiun beli baru deh 10 ribu
dapet 3 pasang. Lumayan, 2 minggu baru beli lagi.
Di Jakarta, banyak cowok ganteng tapi
dianggep biasa aja orang-orang disekitarnya. Malahan cuman gue yang sering
ngelihat dan perhatiin cowok ganteng itu. Lah.
Tapi kalo cewek, gue jarang nemu yang
cakep. Entahlah. Mungkin banyak tapi pake masker. Atau mungkin mereka bukan
kelompok pengguna transportasi umum biar bisa gue lihat. Entahlah.
Kata orang-orang, di Jakarta itu
semuanya ada. Tapi sampai hari ini gue belum temui pisang goreng disajikan
dengan sambal ulek dicampur ikan atau terasi.
Huaaaaaaaaa. I miss pisang goreng dimakan dengan
sambal kayak gini.
(sumber foto : google.co.id)
Comments
Post a Comment