"SESUATU YANG BERUBAH"
Di Jakarta, gue merasakan langsung sesuatu telah berubah.
Delapan bulan kehadiran teman baru
yang tidak terlihat (Covid 19) saat ini menjadikan banyak hal berubah tak hanya
di Jakarta namun di dunia. Orang-orang harus memakai masker, rajin cuci tangan,
menjaga jarak agar aman dari sesuatu yang tidak diinginkan dari kehadiran teman
baru saat ini (kematian). Itu salah satu bagian dari perilaku yang berubah dari
orang-orang dimanapun berada saat ini. Selain itu, juga ada beberapa hal lainnya
yang berubah.
1. Pembatasan jumlah penumpang di
transportasi umum.
Pembatasan
jumlah penumpang ini tentu memiliki dampak yang tidak diinginkan dari banyak
orang. Seperti memperpanjang waktu perjalanan setiap orang dari tempat
tinggalnya menuju tempat kerja yang tidak bisa melakukan Work from Home (WFH). Mereka harus antri panjang menunggu giliran
untuk bisa masuk ke dalam bus atau kereta. Gue membayangkan orang-orang
kesemutan karena harus lama berdiri dalam antrian. Sama halnya menunggu seseorang
dengan perasaan yang tidak bersambut. Eh loh. Hahaha.
Sebenarnya pemerintah
JABODETABEK sudah mencoba beberapa formulasi untuk menangani hal ini, namun
sepertinya tidak sempurna berhasil. Antrian tetap panjang. Keterlambatan sampai
di tempat kerja tidak bisa teratasi yang akhirnya berujung pada dirumahkannya
(PHK) orang-orang kurang beruntung. Gue pribadi harus banyak bersyukur akrena
pekerjaan di tempat kerja gue bisa dikerjakan dari rumah (WFH). Ralat. Bisa dikerjakan dari kosan (Work From Kosan).
Gue tidak
harus antri berdiri panjang setiap pagi dan sore hari untuk berangkat dan
pulang kantor. Gue gak kesemutan berdiri. Tapi gue gendutan di kosan.
2. Pembatasan tempat-tempat keramaian (Wisata,
Mall, Bioskop, Tempat Makan, Masjid)
Bagi gue ini sedikit menjadi titik kebosanan pada
diri gue sebagai orang yang menyukai keramaian. Mungkin juga menjadi titik
kebosanan banyak orang sebagai makhluk sosial yang butuh tempat interaksi/ghibah/rumpi/lalala/yeyeye.
Apalagi untuk mereka para perempuan-perempuan sosialita/jeng-jeng. Hayo.
Pembatasan tempat-tempat keramaian ini
menjadikan suasana kepadatan Jakarta terlihat berkurang. Juga harga-harga
pakaian. Namun tidak dengan harga kopi yang tetap normal. Huft.
Hal yang bagi gue rasanya berat dan sedih
adalah pembatasan tempat-tempat ibadah. Bahkan sebelumnya selama kurang lebih
tiga bulan dilarang untuk dibuka. Gue harus sholat di rumah agar aman dan tetap
sehat. Saat itu gue benar-benar merasakan sedih. Pernah gue sholat sendiri
sampai tiba-tiba nangis. Sumpah ini serius. Gue harus nangis karena gak berada
di dekat keluarga. Atau minimal memiliki seseorang di sebelah gue (istri) untuk
menjadi support system di situasi yang tiba-tiba tidak seperti biasanya. Beruntungnya
gue bisa kuat. Makan biskuat bersama Rahmat. Gak kumat. Ini apaan sih.
3. Bekerja dari rumah (WFH)
Menurut gue ini sesuatu yang menyenangkan,
namun menjadi membosankan. Sebab hari-hari dilakukan dengan banyak ngobrol di
depan laptop tanpa bertemu langsung. Gue yakin kalo laptop bisa ngomong, dia
akan ngomong setiap hari “pake aku mas,
pake sepuasnya.”
Bekerja dari rumah menjadikan banyak hal berubah dari rencana pekerjaan yang harus dikekerjakan. Dari awalnya pelatihan berubah menjadi training. Eh itu sama aja ya. Hahaha. Pokoknya banyak yang berubah dari rencana. Kalo kata bunda gue di kantor, kita harus bisa cepat menyesuaikan pekerjaan dengan keadaan. Bener. Gue pun menyesuaikan diri gue dengan keadaan. Gue meeting dengan rebahan. Gue diskusi dengan rebahan. Gue PUP dengan rebahan. Eh. Ini gimana ya.
4. Menikah.
Situasi tidak normal saat ini menjadikan
temen-temen baik gue juga tidak normal. Mereka tiba-tiba bisa menikah. Kemudian
Hamil. Selanjutnya tiba-tiba punya anak bayi manusia. YA IYALAH!
Tak hanya temen, tapi juga ada mantan gue yang
udah punya anak. Heran kenapa gue gak diundang di acara pernikahannya. Sepertinya
dia udah tahu gue akan melakukan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan di
acaranya kalo gue diundang. Kenapa ini jadi ngomongin mantan. Huft.
Gue baru menyadari satu hal bahwa keputusan
seseorang untuk menikah itu akan mempengaruhi kehidupan setelahnya. Dia bukan
lagi seseorang yang sendirian melewati hari-harinya. Bukan lagi seseorang yang
seorang diri memutuskan sebuah pilihan. Bukan lagi memikirkan
nongkrong-nongkrong untuk sekedar ngobrol atau tertawa terbahak-bahak bersama
teman hingga larut malam. Semuanya berubah setelah menikah. Apalagi setelah
memiliki anak. Gue bisa merasakan perbedaan temen-temen gue yang sudah
mengakhiri masa lajangnya.
Mereka harus melalui beberapa tahapan untuk
bisa diajak ketemuan. Ijin dulu – ngebujuk - minta uang – hingga kemudian harus siap
ada titipan pesanan dari sang istri. Juga biasanya dibatasin hanya bisa sampai
jam sepuluh malem. Bener gini gak ? hahaha
Tapi gue sebagai teman baik yang belum menemukan jalan kemudahan untuk menikah juga, harus memaklumi hal itu. Gue harus memahami new normal yang temen gue jalani setelah menikah selain rajin pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak.
Entahlah. Ternyata situasi tidak normal saat
ini menjadikan banyak perubahan dengan cepat. Termasuk kehidupan gue.
Comments
Post a Comment